Pesona Gandrung Lanang
Sekitar 117
tahun silam, ketika Pak Marsan mengakhiri kiprahnya sebagai penari
Gandrung Lanang, maka berakhir pula episode Gandrung Lanang dalam
sejarah kesenian gandrung di muka Bumi Blambangan ini. Perjalanan
sejarah kesenian gandrung pun kemudian dilanjutkan oleh Semi, yang dalam
tulisan John Scolte (1920) disebut sebagai anaknya Mak Midah(?), yang
tampil sebagai penari
Gandrung Wadon
pertama menggantikan posisi Pak Marsan. Dan semenjak itu, kisah
keberadaan gandrung lanang pun hanya tersisa dalam catatan sejarah.
Setelah lewat satu abad lebih, khalayak kesenian tradisional Banyuwangi
seakan terseret arus pusaran waktu ke kehidupan abad lampau. Itu
terjadi ketika penari dan koreografer handal, Subari Sofyan, bersama
rekan-rekannya yang tergabung dalam Ikatan Waria Banyuwangi (Iwaba),
tiba-tiba menyeruak dan menyuguhkan karya terbarunya, “Episode Gandrung
Lanang”, persis di perbatasan waktu antara tahun 2005 dan 2006.Generasi abad 20-an sekarang, memang tak tahu persis bagaimana Gandrung
Marsan dulu njuged gandrung. Hanya melalui cerita dari mulut ke
mulutlah generasi sekarang dapat membayangkan sosok Gandrung Marsan,
yang konon mampu tampil seelok para gandrung perempuan saat ini. Namun
bila menyaksikan penampilan Subari Sofyan dan kawan-kawan Warianya pada
malam itu, yang sempat tertangkap oleh indera penonton adalah sebuah
penampilan yang mampu menimbulkan rasa jengah (kagum) dan pesona luar
biasa. Kekaguman dan keterpesonaan penonton bukan semata pada
“kemolekan” tubuh atau “keluwesan” gerak tari yang mereka suguhkan,
tetapi jauh ke latar-belakang sejarah gandrung itu sendiri.Dibandingkan dengan nonton gandrung terop (gandrung perempuan), yang
oleh sebagian besar masyarakat dianggap lebih miring ke arah deviasi
sosial karena selalu beraroma alkohol dan perselingkuhan ketimbang nilai
estetika seninya, maka tampilan Subari Sofyan dan gank Warianya itu
ternyata jauh lebih bermakna baik dari sisi hiburan maupun dari sisi
“misi perjuangan” yang pernah diembannya dahulu. Bandingkan saja antara
kelucuan yang berhasil diselipkan oleh Subari Sofyan Cs ketika mereka
tengah serius njuged mengikuti irama gending Padha Nonton, dengan
“senyum nakal” Gandrung Aripah, Temu’, Muda’iyah serta generasi gandrung
belakangan, yang terpaksa harus rela meladeni “para pemabuk” yang
selalu mengelilinginya demi mendapatkan uang saweran?. Jelas jauh
berbeda.Bagaimanapun, gandrung adalah sebuah kesenian
tradisional masyarakat, yang dalam catatan sejarahnya, pernah digunakan
sebagai alat perjuangan. Terlepas dari itu, sebagai sebuah kesenian,
misi utama dari terbentuknya kesenian ini adalah untuk alat hiburan dan
klangenan, sekaligus dalam rangka mengaktualisasikan ekspresi
berkesenian masyarakat. Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya
kesenian ini sudah semakin jauh terseret keluar dari norma dan etika
berkesenian. Meski tidak hanya kesenian gandrung yang mengalami hal
seperti itu, namun Gandrung-lah yang memiliki skor tertinggi dari segi
penyimpangan. Maka tidaklah mengherankan ketika sebagian masyarakat
kemudian menuding bahwa tontonan tersebut penuh dengan kemaksiatan.Maka ketika Subari Sofyan Cs bersedia memerankan kembali sosok Gandrung
Lanang, masyarakat dan pemerhati seni-budaya pun seperti mendapat
“tudingan balik” bahwa sejatinya kesenian gandrung ya seperti yang
disuguhkan oleh Subari Sofyan Cs itu, yaitu wajar dan tidak vulgar,
menghibur, dan sekaligus mampu menunjukkan nilai-nilai estetika seni
yang sesungguhnya. Dan nyatanya, bila kita ingin menikmatinya sebagai
hiburan, tampilan Gandrung Lanang memang jauh lebih mempesona. (eko budi
setianto)