Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in

KIAI AB - cerita : Taufiq Wr. Hidayat

Share this history on :
KIAI AB
Cerita; Taufiq Wr. Hidayat


KIAI Ab mengasuh pesantren kecil di sebuah dusun, Umbulsari, di sebuah kecamatan ujung timur Pulau Jawa. Di komplek pesantrennya itu, beliau juga mendirikan sekolah madrasah dari tingkat dasar sampai tingkat lanjutan atas. Kiai Ab mengsuh santri-santri yang tidak terlalu banyak. Di samping para santri dari sekitar lingkungan pesantrennya, banyak pula santri yang datang dari luar Pulau Jawa “nyantri” di pesantrennya. Pesantrennya bernama Pondok Pesantren Segoro Mumbul.

Kiai Ab mengasuh pesantren kecilnya itu dengan sekitar 300-an orang santri putra dan putri. Ketokohan Kiai Ab, walaupun ia hanya mengasuh pesantren kecil di sebuah dusun terpencil dengan santri yang sedikit, sangat dihormati oleh kiai-kiai “besar” yang memiliki pesantren-pesantren besar dengan ribuan bahkan puluhan ribu santri dari seluruh pelosok nusantra. Ini lantaran Kiai Ab adalah salah satu putra seorang kiai agung pendiri NU di Jawa Timur. NU adalah organisasi tua para ulama’ terbesar di Indonesia.

Wajahnya bulat. Lucu. Rambutnya sudah memutih. Ramah. Kiai Ab begitu akrab dengan masyarakat sekitar. Setiap pagi, ia berjalan kaki ke pasar untuk membeli sayuran dan tembakau. Pakaian Kiai Ab tidak menunjukkan bahwa ia seorang kiai. Jika kalian membayangkan seorang kiai, mungkin yang ada di dalam gambaran kalian adalah seorang tua berpakaian serba putih dan bersorban. Tapi, gambaran kalian tentang so-sok kiai dengan penampilan seperti itu tidak melekat pada diri Kiai Ab. Setiap saat Kiai Ab selalu mengenakan celana panjang hitam yang longgar, memakai kaos hitam tak berkerah, dan bersongkok hitam yang cara memakainya ditekan ndelesep pada kepalanya sehingga kedua ujung kopyah tidak lagi berbentuk tajam tetapi berubah bundar mengelilingi lingkaran kepala. Bersendal jepit murah. Mulutnya tidak lepas dari tembakau lintingan yang selalu mengepul, bila berpapasan dengan orang, Kiai Ab akan menyapa lebih dulu, bibirnya yang hitam karena nikotin akan tersenyum ramah. Ini ciri-ciri penting “kiai salaf” yang langka itu.

Di pasar yang ramai, setelah mendapatkan beberapa ikat sayuran dan setengah ons tembakau, dia pasti menyempatkan untuk duduk bersila di atas tanah tanpa alas bersama penjual akik yang mendasar jualannya di tepi jalan pasar. Ia akan memesan segelas kopi di warung yang tidak jauh dari tempat duduknya bersama beberapa penjual akik itu, lalu berbincang dan tertawa dengan lepas bersama mereka.

Perlu diketahui, dari pesantrennya ke pasar berjarak sekitar 3 kilo meter, Kiai Ab jalan kaki menempuhnya di saat matahari pagi tipis-tipis menyinari bumi. Ndalem Kiai Ab berada di dalam komplek pesantrennya yang dikelilingi pagar tembok tidak terlalu tinggi. Kiai Ab memiliki kebun kelapa dan sawah yang luas hampir 200 hektar keseluruhan. Beliau adalah kiai yang sangat disegani di seluruh wilayah kecamatan tempat tinggalnya. Namun, gaya hidup Kiai Ab seringkali membuat banyak orang tertawa lucu, sedikit humor dari Kiai Ab sudah mampu membuat orang tergelak-gelak. Kiai Ab memiliki mobil jeep lawas yang akan dia gunakan ketika bepergian ke kota, tapi Kiai Ab tidak bisa nyopir, beliau punya sopir sendiri yang menyopirinya ketika ia keluar ke kota untuk suatu keperluan, atau menghadiri undangan orang lain. Sopirnya itu santrinya sendiri.

Di dasaran penjual akik, Kiai Ab akan banyak bertanya perihal akik. Penjual akik yang diajak berbincang Kiai Ab akan sangat senang, di samping mereka sadar bahwa mereka sedang berbincang dengan seorang kiai yang diyakini akan memberikan berkah dan tambahan pencerahan, mereka juga akan menerima beberapa lembar uang cuma-cuma dari Kiai Ab. Kiai Ab gemar memberi uang kepada orang lain, selembar dua lembar uang pemberian Kiai Ab terkadang cukup untuk membeli lima kilo beras dan lima bungkus rokok.

Kiai Ab memelihara binatang ternak walaupun ia bukan peternak, tentunya. Ia memelihara ayam, bebek, kambing, dan kucing. Kucing-kucing bukan binatang ternak, tapi kucing Kiai Ab sangat banyak karena beranak-pinak di komplek pesantren, lantaran kucing-kucing Kiai Ab diperlakukan sangat istimewa dan berhati-hati oleh para santri. Para santri sangat menghormati kucing-kucing peliharaan Kiai Ab, karena menghormati kucing-kucing kiai sama halnya menghormati kiainya, dan itu diyakini mendatangkan berkah. Tapi, Kiai Ab tidak memelihara burung.

Rumah Kiai Ab yang disebut “ndalem” oleh orang-orang, memiliki ruang tamu cukup luas tanpa meja kursi, hanya tikar dihamparkan untuk lesehan. Setiap malam sehabis Isyak, banyak tamu berdatangan ke ndalem Kiai Ab, mulai rakyat biasa yang meminta petunjuk atau doa Kiai Ab agar padi yang baru ditanam tumbuh berhasil melimpah panen serta dijauhkan dari hama hingga pejabat-pejabat kabupaten yang meminta didoakan supaya naik jabatan. Kiai Ab melayani tamu-tamunya hingga malam larut. Dan di ruang tamunya akan dipenuhi gelak tawa renyah lantaran Kiai Ab seringkali dengan cerdik menyikapi banyak masalah dengan humornya yang segar, kadang juga menggoda. Di samping itu, Kiai Ab memiliki koleksi cerita humor yang melimpah dan jarang diulang.

“Kiai, saya mohon doa supaya naik setingkat,” ujar seorang pejabat kabupaten yang ingin naik jabatan ke eselon.

“Sampeyan sudah enak. Dan tidak perlu susah-susah naik ke mana-mana,” jawab Kiai Ab tersenyum.

Sang pejabat tersenyum juga dengan kecut. Tapi, entah keajaiban atau apa, sebulan kemudian orang yang meminta doa naik pangkat, datang lagi dan pangkatnya sudah naik dari pangkatnya semula.

“Terima kasih doanya, Kiai. Saya benar-benar sudah naik pangkat,” kata sang pejabat sembari menyodorkan bungkusan hadiah kepada Kiai Ab.

“Sampeyan naik pangkat itu cuma kebetulan saja. Lha wong saya berdoa untuk sampeyan sambil tertawa. Berdoa sambil tertawa kan kesannya tidak bersungguh-sungguh meminta kepada Tuhan, apa ya didengarkan Tuhan?” jawab Kiai Ab.

Tamu-tamu yang lain tertawa, tapi mereka juga bingung. Dan di benak masing-masing mungkinkah Kiai Ab berdoa sambil tertawa? Kiai Ab kepingkel-pingkel.

“Tapi, sampeyan naik pangkat juga. Itu kebetulan saja Tuhan sedang longgar dari kesibukan-Nya, sebab sudah menjadi ‘acara lama’ Tuhan diminta macam-macam oleh manusia,” sambung Kiai Ab.

Dan setelah pejabat tadi pulang, Kiai Ab membuka bungkusan hadiah itu di hadapan tamu-tamunya yang belum pulang. Bungkusan itu berisi sarung, kopyah dan baju takwa yang bagus, lalu sehelai amplop coklat, setelah dibuka berisi lembaran-lembaran uang cukup banyak.

“He..he..he..he..,” Kiai Ab tertkekeh, “ini rejeki sampeyan yang butuh uang tadi,” lanjut Kiai Ab menyerahkan uang itu kepada salah seorang tamunya yang tadi mengeluhkan hutangnya yang belum bisa dilunasi dan berbunga.

Dan malam larut, Kiai Ab memohon diri kepada tamu-tamunya yang masih kerasan untuk beristirahat. Tamu-tamu pun satu persatu juga berpamitan pulang. Kadang tamu-tamu itu akan bertemu Kiai Ab kembali pagi harinya di pasar.

Lalu pagi itu, seperti biasa, Kiai Ab ke pasar untuk membeli beberapa ikat sayuran dan tembakau. Salah seorang tamunya yang tadi malam, bertemu Kiai Ab di jalan.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” sapa tamu Kiai Ab yang tadi malam.

“Yo. Wa’alaikum salam,” jawab Kiai Ab. Tersenyum. Logat Jawa.

Tamu yang tadi malam itu bersalaman mencium tangan Kiai Ab.

“Saya ingin bertanya, Kiai,” kata tamu yang tadi malam itu.

“Sampeyan mau tanya apa?” tanya Kiai Ab.

“Anu, Kiai.”

“Kenapa anunya?”

Mereka tergelak renyah dan akrab.

“Anu, Kiai, saya bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Apa benar Kiai berdoa sambil tertawa?”

Kiai Ab kepingkel-pingkel.

“Apa mungkin?” tanya Kiai Ab.

“Maksudnya, Kiai?”

“Apa mungkin saya bohong?”

Muncar, 2010
Thank you for visited me, Terima kasih telah mengunjungi website kami
www.KAUKUSMUDABANYUWANGI.com