Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in

KUNTULAN, Dari Tuntunan Menjadi Tontonan

Share this history on :
Kuntulan
Dari Tuntunan Menjadi Tontonan

Diluar kesenian gandrung yang sudah menjadi trade-mark seni-budaya tradisional Banyuwangi, juga ada beberapa jenis kesenian tradisional yang bersumber atau dipengaruhi oleh seni-budaya Islam yang mul
ai masuk ke Banyuwangi sejak abad XVIII lampau. Dalam perkembangannya kemudian, banyak terjadi akulturasi antara seni-budaya tradisional dengan seni-budaya Islam yang masuknya ke tlatah Blambangan ini dahulu dibawa oleh para saudagar melalui pelabuhan alam Ulu Pang-pang (kini Pelabuhan Muncar, red.).

Dari sekian banyak kesenian tradisional, beberapa yang sangat kental dengan pengaruh budaya Islam itu diantaranya adalah: Mocoan Lontar Yusuf dan Hadrah. Kedua jenis seni tersebut kemudian mengalami banyak perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh adat tradisi lingkungan masyarakatnya. Seni Pacul Guwang misalnya, adalah bentuk kesenian yang berakar dari seni Mocoan. Kesenian ini lalu dikenal dengan nama kesenian Aljin, yang mengambil nama dari tokoh yang mempopulerkannya. Dan akhir-akhir ini, kesenian yang sarat dengan pesan-pesan moral yang disampaikan secara guyonan itu kemudian berkembang lebih bebas lagi menjadi kesenian Campursari.

Kesenian lain yang juga bersumber dari seni-budaya Islami adalah kesenian Hadrah. Sebagaimana seni-budaya Islami yang sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran Islam, mulanya kesenian Hadrah ini hanya semacam “musikalisasi puisi” yang banyak mengangkat tentang tema-tema agama, sehingga juga digunakan sebagai alat untuk syi’ar. Perkembangannya selanjutnya, tampilan kesenian ini kemudian ditambah dengan penataan gerak tari yang diperankan oleh laki-laki, seperti halnya Tari Saman di Aceh yang mengadopsi gerakan-gerakan silat.

Menurut pengamat seni-budaya tradisi Banyuwangi, Sahuni, S.Sen, kadar “tuntunan” yang ada pada kesenian Hadrah ini sekarang sudah semakin berkurang seiring dengan banyaknya sentuhan-sentuhan artistik pada tampilan kesenian ini. “Dengan adanya penambahan-penambahan tata gerak, kadar tuntunan dalam seni Hadrah semakin lama semakin berkurang. Mungkin saat ini hanya tinggal 25 persen saja. Hal ini karena dalam tampilannya mulai ada bentuk-bentuk penonjolan dari sisi artistiknya. Pada perkembangan terakhir, kesenian Hadrah ini kemudian berubah menjadi kesenian Kuntulan seperti yang banyak kita saksikan sekarang. Sedang munculnya nama Kuntulan itu sendiri, barangkali karena penarinya yang pakai pakaian putih-putih dengan gerakannya yang kompak persis seperti Kuntul Baris, hingga kemudian dinamakan Kuntulan,” jelas Sahuni, yang pada sekitar tahun 1984 telah mengubah dan mengemas kesenian kuntulan ini menjadi sebuah kesenian yang murni sebagai tontonan.

Meski pada mulanya banyak menuai kritikan pedas, namun hasil kreasi Sahuni ini kemudian berkembang cukup pesat hingga sekarang ini. Waktu itu, hasil kreasinya itu diberi nama “Kundaran” yang merupakan kepanjangan dari kata kuntulan dan dadaran. Jadi Kundaran merupakan bentuk modifikasi dari kesenian kuntulan. Sementara tentang tatanan musiknya, juga dirubah menjadi lebih rancak dan dinamis.
Walaupun sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan, kesenian Hadrah yang masih murni membawa misi syi’ar ternyata masih cukup mampu bertahan, meski hanya terbatas dikalangan pesantren dan komunitas-komunitas tertentu. (eko budi setianto)
Thank you for visited me, Terima kasih telah mengunjungi website kami
www.KAUKUSMUDABANYUWANGI.com