Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in

In Memoriam Gandrung Aripah, Kembange Gandrung

Share this history on :
In Memoriam
Gandrung Aripah, Kembange Gandrung

Erang-erang, wong adang kayune merang...
Mambu kukus, ketungkul nggodhag wong bagus...

DENGAN suara yang lirih dan serak, sebait gending Erang-erang itu coba dilantunkannya kembali, setelah terakhir kali dibawakannya sekitar tahun 1955 silam, di hadapan para penggemarnya yang selalu berjubel memadati pentas pertunjukannya. Suaranya memang tak semer
du masa jayanya dulu. Namun sosoknya sebagai mantan penari Gandrung terkenal masih jelas membekas pada raut wajahnya, yang mulai keriput dimakan usia.
Sore itu, sekitar awal September 2000, di rumah seorang anaknya di Kelurahan Tukangkayu, wajah Aripah nampak kuyu dan lelah. Nafasnya yang mulai berat karena sakit-sakitan, ternyata tak menghalanginya untuk menceriterakan kembali sebagian perjalanan hidupnya sebagai seorang penari Gandrung yang sangat terkenal pada zamannya.“Saya mulai Nggandrung pada usia 14 tahun. Waktu itu sekitar tahun 1930-an,” tutur Aripah mengawali kisah hidupnya sebagai penari Gandrung. Menurutnya, pada masa-masa sebelum kemerdekaan itu sebagian besar wilayah Banyuwangi masih berupa hutan lebat, yang memisahkan antara satu desa dengan desa lainnya. Namun demikian, setiap pementasannya selalu dipenuhi oleh penonton yang berdatangan dari berbagai tempat.“Saya mulai belajar menari gandrung pada usia 8 tahun. Yang ngajari saya adalah Gandrung Wilasih dari Cungking,” tuturnya. Sejak itu ia mulai tekun belajar menari dan nggandhang. Baru pada usia 14 tahun, Aripah mulai berani tampil di depan umum. Dan sejak itulah, namanya terus melambung, sebagai penari gandrung yang senantiasa ditunggu-tunggu penampilannya.

Ketika ditanya kenapa ia begitu laris dan terkenal, Aripah justru menjawabnya dengan sebait gendhing.

Tebu gula ditandur pinggir pendapa...

Niba-niba polahe wong keneng guna...
“Ya nganggo sensren, makne uwong padha katon-katonen (ya pakai jampi-jampi/susuk, biar orang selalu terbayang-bayang),” aku wanita kelahiran Desa Mangir, Rogojampi, sekitar tahun 1920-an itu.

Saking larisnya, konon untuk bisa nanggap Gandrung Aripah orang harus ngantri cukup lama. Padahal, kala itu untuk sekali tampil ia beserta rambongannya dibayar cukup mahal, yaitu sekitar Rp 30 ribu. Begitu digandrunginya penampilan Aripah, hingga setiap kali tampil ia bisa mendapatkan uang sawer atau uang tip dari penonton yang meminta gendhing rata-rata sampai Rp 40 ribu. Jauh lebih besar dari harga tanggapan-nya.

Lalu bagaimana tentang minum-minuman keras? Aripah yang sempat menularkan “ilmu”nya kepada keponakannya yang bernama Aenah ini berucap, “hang aran wong mabuk-mabukan iku saket bengen ya wis ana (yang namanya orang mabuk-mabukan itu sejak dulu sudah ada!”

Sebagaimana dituturkan oleh budayawan Fathrah Abal, pada masanya dulu gandrung Aripah memang sangat terkenal. Perawakannya yang tinggi langsing dengan kulit tubuh yang kunig langsat, Aripah menjadi idola banyak orang. Di manapun ia hendak pentas, pasti beritanya cepat menyebar ke semua penjuru. Sehingga meski harus menempuh perjalanan menembus lebatnya hutan, mereka tidak peduli asal bisa nonton gandrung Aripah.
Sayangnya, ketika banyak pihak tengah berupaya untuk nguri-uri agar kesenian gandrung tetap lestari, ia tak lagi dapat menyaksikannya. Pada pertengahan tahun 2001 lalu, dengan ditunggui oleh anak, cucu, dan beberapa cicitnya, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kini ia terbaring damai di pekuburan umum Setro Penganten, Tukangkayu. Innalillahi Wa’innailaihi Roji’un! Mbok Aripah, wis samarwulu, wis wayahe riko turu. (eko budi setianto)
Thank you for visited me, Terima kasih telah mengunjungi website kami
www.KAUKUSMUDABANYUWANGI.com