Gandrung Aripah, Kembange Gandrung
Erang-erang, wong adang kayune merang...
Mambu kukus, ketungkul nggodhag wong bagus...
DENGAN suara yang lirih dan serak, sebait gending Erang-erang itu coba dilantunkannya kembali, setelah terakhir kali dibawakannya sekitar tahun 1955 silam, di hadapan para penggemarnya yang selalu berjubel memadati pentas pertunjukannya. Suaranya memang tak semer
Ketika ditanya kenapa ia begitu laris dan terkenal, Aripah justru menjawabnya dengan sebait gendhing.
Tebu gula ditandur pinggir pendapa...
Saking larisnya, konon untuk bisa nanggap Gandrung Aripah orang harus
ngantri cukup lama. Padahal, kala itu untuk sekali tampil ia beserta
rambongannya dibayar cukup mahal, yaitu sekitar Rp 30 ribu. Begitu
digandrunginya penampilan Aripah, hingga setiap kali tampil ia bisa
mendapatkan uang sawer atau uang tip dari penonton yang meminta gendhing
rata-rata sampai Rp 40 ribu. Jauh lebih besar dari harga tanggapan-nya.
Lalu bagaimana tentang minum-minuman keras? Aripah yang sempat
menularkan “ilmu”nya kepada keponakannya yang bernama Aenah ini berucap,
“hang aran wong mabuk-mabukan iku saket bengen ya wis ana (yang namanya
orang mabuk-mabukan itu sejak dulu sudah ada!”
Mambu kukus, ketungkul nggodhag wong bagus...
DENGAN suara yang lirih dan serak, sebait gending Erang-erang itu coba dilantunkannya kembali, setelah terakhir kali dibawakannya sekitar tahun 1955 silam, di hadapan para penggemarnya yang selalu berjubel memadati pentas pertunjukannya. Suaranya memang tak semer
du
masa jayanya dulu. Namun sosoknya sebagai mantan penari Gandrung
terkenal masih jelas membekas pada raut wajahnya, yang mulai keriput
dimakan usia.
Sore itu, sekitar awal September 2000, di rumah
seorang anaknya di Kelurahan Tukangkayu, wajah Aripah nampak kuyu dan
lelah. Nafasnya yang mulai berat karena sakit-sakitan, ternyata tak
menghalanginya untuk menceriterakan kembali sebagian perjalanan hidupnya
sebagai seorang penari Gandrung yang sangat terkenal pada zamannya.“Saya mulai Nggandrung pada usia 14 tahun. Waktu itu sekitar tahun
1930-an,” tutur Aripah mengawali kisah hidupnya sebagai penari Gandrung.
Menurutnya, pada masa-masa sebelum kemerdekaan itu sebagian besar
wilayah Banyuwangi masih berupa hutan lebat, yang memisahkan antara satu
desa dengan desa lainnya. Namun demikian, setiap pementasannya selalu
dipenuhi oleh penonton yang berdatangan dari berbagai tempat.“Saya mulai belajar menari gandrung pada usia 8 tahun. Yang ngajari saya
adalah Gandrung Wilasih dari Cungking,” tuturnya. Sejak itu ia mulai
tekun belajar menari dan nggandhang. Baru pada usia 14 tahun, Aripah
mulai berani tampil di depan umum. Dan sejak itulah, namanya terus
melambung, sebagai penari gandrung yang senantiasa ditunggu-tunggu
penampilannya.
Niba-niba polahe wong keneng guna...
“Ya nganggo sensren, makne uwong padha katon-katonen (ya pakai
jampi-jampi/susuk, biar orang selalu terbayang-bayang),” aku wanita
kelahiran Desa Mangir, Rogojampi, sekitar tahun 1920-an itu.
Sebagaimana
dituturkan oleh budayawan Fathrah Abal, pada masanya dulu gandrung
Aripah memang sangat terkenal. Perawakannya yang tinggi langsing dengan
kulit tubuh yang kunig langsat, Aripah menjadi idola banyak orang. Di
manapun ia hendak pentas, pasti beritanya cepat menyebar ke semua
penjuru. Sehingga meski harus menempuh perjalanan menembus lebatnya
hutan, mereka tidak peduli asal bisa nonton gandrung Aripah.
Sayangnya, ketika banyak pihak tengah berupaya untuk nguri-uri agar
kesenian gandrung tetap lestari, ia tak lagi dapat menyaksikannya. Pada
pertengahan tahun 2001 lalu, dengan ditunggui oleh anak, cucu, dan
beberapa cicitnya, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kini ia terbaring
damai di pekuburan umum Setro Penganten, Tukangkayu. Innalillahi
Wa’innailaihi Roji’un! Mbok Aripah, wis samarwulu, wis wayahe riko
turu. (eko budi setianto)