Legenda Gandrung Banyuwangi
Dari Semi Sampai Supinah
KMB - Lebih dari satu abad lampau, atau tepatnya sekitar tahun 1895, Semi,
anak ke dua dari pasangan Pak Midin (asal Ponorogo) dan Raminah (asal
Semarang), tampil sebagai penari gandrung wanita pertama di Bumi
Blambangan. Munculnya Semi sebagai penari gandrung, sekaligus menandai
berakhirnya era Gandrung Lanang (penari gandrung pria), di mana Pak Mar
san tercatat sebagai penari terakhir yang masih aktif kala itu.
Setelah Semi, kemudian disusul adik-adik kandungnya yang bernama Suyati
(anak ke 4), Misti (anak ke 6) dan Miyati (anak ke 8) yang juga muncul
sebagai penari gandrung. Dari ke delapan anak-anak Pak Midin dan Raminah
(5 perempuan dan 3 laki-laki) ini, yang perempuan hanya Midah (anak
pertama) yang tidak pernah menjadi penari gandrung.
Setelah
lebih satu abad berlalu, telah seratusan lebih penari gandrung
bermunculan di Bumi Using ini. Mereka-mereka itulah yang dengan setia
dan penuh dedikasi mengusung kehidupan seni gandrung hingga saat
sekarang ini. Bahkan, berkat jasa-jasa merekalah hingga Banyuwangi lebih
banyak dikenal sebagai Kota Gandrung. Dan berbagai kalangan seni pun
telah mengakui bahwa gandrung sudah merupakan identitas kultur bagi
masyarakat Banyuwangi.
Selama ini keberadaan seni tersebut
mengalami banyak cemoohan, cercaan dan dijauhi oleh beberapa kalangan
masyarakat. Ini terkait dengan tudingan mereka yang menganggap bahwa
seni gandrung sarat dengan hal-hal yang berbau miring seperti
perselingkuhan, minuman keras, dan sebagainya. Akibatnya, kesenian khas
Banyuwangi ini banyak mengalami hambatan dalam perkembangannya.
Pada era kepemimpinan Ir H Samsul Hadi, berbagai kesenian tradisional
khususnya kesenian gandrung, mulai mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Dan belakangan ini, pemerintah semakin serius menggali
potensi seni tradisi untuk dikembangkan sebagai objek wisata budaya.
Sebagai kesenian paling tua yang dimiliki Banyuwangi, gandrung merupakan
legenda kesenian yang perkembangannya seiring dengan sejarah Banyuwangi
itu sendiri. Mulai dari era Gandrung Semi sampai era Gandrung Yuyun dan
kawan-kawan yang baru diwisuda bersamaan dengan peringatan Hari Jadi
Banyuwangi pada 18 Desember 2003, kesenian ini telah pula melahirkan
beberapa orang penari gandrung legendaris.
Menurut budayawan
dan sejarawan Hasan Ali, tercatat ada tujuh orang penari gandrung yang
termasuk legendaris. Mereka adalah: Semi (gandrung pertama), Pikah
(alm), Aripah (alm), Aenah, Temu’, Pon, dan yang terakhir Supinah. “Yang
membuat mereka legendaris, karena mereka mempunyai ciri-ciri khusus
yang tidak bisa ditiru oleh penari gandrung lain. Seperti gandrung Temu’
misalnya, dia mempunyai ciri khas vokal yang saya kira tidak akan bisa
ditiru gandrung lain. Juga (Alm) Mbah Aripah, dia mempunyai penampilan
yang sangat menarik. Dengan tubuh yang tinggi langsing, berwajah cantik
serta kemampuan menarinya yang sempurna, Aripah benar-benar menjadi
bintang pada jamannya,” tutur Hasan Ali.
Gandrung juga
merupakan salah satu kesenian tradisional Banyuwangi yang telah berhasil
mencatatkan diri sebagai salah satu seni tradisi yang telah banyak
berkesempatan melanglang buana ke manca negara sebagai duta bangsa.
Karena itu, terlepas dari berbagai tudingan miring atas sisi-sisi
negatifnya, masyarakat Banyuwangi sudah seharusnya merasa bangga
memiliki kesenian tradisional seperti gandrung ini. (eko budi setianto)